“Kita perlu mencari cara untuk menyeimbangkan risiko, sembari memaksimalkan manfaat [dari AI],” ujar Dr. Yose.
Menteri Komdigi Indonesia, Meutya Viada Hafid, menyoroti tingginya antusiasme masyarakat terhadap adaptasi AI di Indonesia. Pemerintah Indonesia pun berkomitmen untuk memanfaatkan reaksi positif ini sambil menavigasi risiko yang ada.
“Tugas kita adalah untuk memanfaatkan optimisme ini dengan bertanggung jawab,” ujar Meutya. Untuk itu, perlu pengembangan sumber daya manusia yang lebih baik. “Teknologi saja tidak dapat membangun masa depan, manusialah yang membangunnya,” tegas Meutya.
Sejalan dengan itu, Prof. Ang Peng Hwa menyoroti bagaimana teknologi AI tengah membentuk ulang masyarakat secara halus namun mendalam, mulai dari berkurangnya keragaman pengalaman budaya dan personal hingga meningkatnya ketergantungan yang melemahkan kapasitas berpikir kritis.
BACA JUGA:Siang Ini, KPK Umumkan Status Wamenaker Immanuel Ebenezer dan Panggil Lisa Mariana
“AI telah terkonvergensi ke satu titik. Ini lah masalahnya dengan GenAI,” jelas Prof. Ang. Karena AI adalah mesin prediktif, ia mengumpul ke satu titik, menjadi satu angka, satu kata, satu gambar.
Sifat AI yang seperti ini berpotensi menimbulkan risiko terhadap keunikan pengalaman manusia. Prof. Ang menekankan perlunya pendekatan lintas sektor yang melibatkan pemerintah, bisnis, akademisi, masyarakat sipil, hingga kelompok keagamaan agar AI dapat mendukung ketahanan sosial.
Dalam sesi dialog strategis, para pembicara menanggapi perkembangan teknologi AI dengan kritis. Dr. Maria dari ISEAS–Yusof Ishak Institute menyoroti pentingnya pendekatan berbasis manusia (human-centric approach) dalam pengembangan dan regulasi AI.
“Teknologi itu netral. Teknologi tidak memiliki nilai. Kita lah yang memasukkan nilai ke dalam teknologi,” ujar Dr. Maria. Sejalan dengan ini, WIjaya, Staf Ahli Komdigi, menekankan pentingnya pengembangan manusia seiring dengan perkembangan teknologi.
BACA JUGA:Menko PMK Tanggapi Cepat Kasus Anak Meninggal di Sukabumi
“Ketika berbicara soal teknologi, alih-alih berpikir soal infrastruktur, kita perlu mengembangkan manusianya. Isunya saat ini adalah bagaimana kita dapat mendahulukan manusia sebelum teknologi,” jelas Wijaya.
Selain sesi pleno, IRIS juga menghadirkan empat panel tematik mengenai isu-isu mendesak: penipuan finansial berbasis GenAI, pengawasan dan privasi dalam pembangunan digital, respons regional terhadap manipulasi informasi asing, serta peran informasi dalam menjaga ketahanan demokrasi.
Melalui diskusi ini, IRIS berupaya meningkatkan kesadaran publik atas peluang dan risiko GenAI, memperkuat dialog lintas sektor, serta mendiseminasikan hasil riset SAIL dan para mitranya sebagai rujukan penting bagi pembuat kebijakan.