Membaca Tragedi Sumatera dengan Kacamata Green Criminology

Membaca Tragedi Sumatera dengan Kacamata Green Criminology

Dr. Bagus Sudarmanto, S.Sos., M Si., anggota Dewan Redaksi Keadilan.id, dosen, dan Pengurus Harian PWI Jaya.-Weradio.co.id-Keadilan.id

Tragedi tumpahan minyak Deepwater Horizon di Amerika Serikat pada 2010, misalnya, memperlihatkan bagaimana kelalaian korporasi yang dipadu lemahnya pengawasan negara dapat dikategorikan sebagai corporate environmental crime (kejahatan lingkungan oleh korporasi). Sebelas pekerja tewas, jutaan barel minyak mencemari Teluk Meksiko, merusak ekosistem laut, dan menghancurkan mata pencaharian komunitas pesisir, sebuah bentuk victimization yang nyata dan luas.

Sebaliknya, skandal emisi Volkswagen pada 2015 menunjukkan wajah lain kejahatan lingkungan. Manipulasi teknologi yang meningkatkan polusi udara tidak menimbulkan korban tewas secara langsung, tetapi menghasilkan korban yang bersifat struktural dan difus (dampaknya menyebar luas, senyap, tidak terlihat, dan dirasakan masyarakat dalam jangka Panjang). Masyarakat perkotaan dan lingkungan hidup menjadi invisible victims, korban yang dampaknya tidak segera terlihat, namun akumulasinya serius dan merugikan.

Dari Penanganan ke Pencegahan

Selama bencana di Sumatera terus dipahami sebagai musibah alam semata, respons negara akan cenderung reaktif dalam bentuk bantuan darurat, relokasi, dan rekonstruksi. Green criminology justru mendorong pergeseran ke arah pencegahan struktural. 

Pertama, integrasi analisis risiko ekologis secara ketat dalam seluruh kebijakan perizinan, terutama di wilayah hulu dan kawasan rawan bencana. Kedua, penegakan hukum lingkungan yang tegas terhadap korporasi, termasuk kewajiban pemulihan ekologis, bukan sekadar sanksi administratif. Ketiga, transparansi data konsesi dan dokumen AMDAL agar publik dan media dapat menjalankan fungsi kontrol. Keempat, pengakuan dan perlindungan peran masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga ekosistem, bukan sebagai hambatan pembangunan.

Melihat bencana Sumatera melalui kacamata green criminology membantu kita keluar dari narasi nasib dan takdir. Bencana bukan semata peristiwa alam, melainkan cermin dari pilihan kebijakan dan relasi kuasa. Selama kerusakan ekologis terus dianggap sebagai harga yang wajar dari pembangunan, bencana akan berulang dan hampir selalu menimpa mereka yang paling lemah.

(*) Penulis adalah Dewan Redaksi keadilan.id, Dosen, dan Pengurus Harian PWI Jaya